UU 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan


Dituturkan Dr Jan Hoesada, Pakar Bahasa

PROLOG

Prolog, Sejarah UU Bahasa NKRI sebagai berikut dituturkan Jan Hoesada sebagai salah satu pelaku sejarah. Setelah lulus sekolah dasar di Jember,Jawa Timur,  Jan Hoesada meminta kepada keluarga agar boleh bersekolah di Malang , karena di kota Malang Ayah memiliki sebuah rumah untuk para anak-cucu bersekolah. Kakak tertua mendukung gagasan itu dengan syarat Jan kecil harus pergi ke Malang sendirian dan mendaftarkan diri pada SMP di Malang juga sendirian. Jan naik bus antar kota sepanjang  180 Km menuju Malang dan mendaftarkan diri pada SMP Celaket 21 Malang. Penerima pendaftaran memberi syarat harus masuk asrama sekolah tersebut.  Sambil menunggu awal masa sekolah, setiap sore ia suka berjalan sendirian tanpa arah dan di ujung jalan  Kayutangan ia menemukan patung dada Chairil Anwar dan sanjak berjudul “Aku”. Keesokan harinya ia membawa kertas dan alat tulis  untuk mencatat puisi tersebut. Chairil Anwar memperkenalkan “ the magic power of word” dan memberi pencerahan bahasa. Puisi pertama yang dihafalnya adalah “Aku”, lalu ia menjadi kolektor berbagai buku puisi dan kliping sanjak sampai tahun 2000.

Pada SLTP berbagai tugas PR mengarang dalam pelajaran Bahasa Indonesia mendapat nilai terbaik . Pada suatu pelajaran pidato di SLTA, ia melakan pidato tanpa teks berjudul Wau Ulo , memukau kelas dan pada musim libur selanjunta menyebabkan sekitar 30 rang siswa SLTA dan SLTP ( adik teman sekelas) bersepeda sekitar 200 KM Malang – Desa Balung ( Jember )  untuk berkunjung ke pantai Eatu Ulo, Ambulu. Koleksi puisi terus dilakukan, lalu ditambah episode panjang pengumpulan novel-novel  sastra terpopuler Indonesia  pada waktu menjadi mahasiswa UGM Yogyakarta. Semasa kuliah di UGM, Jan rajin menyaksikan puetry reading berbagai penyair berkunjung ke kampus biru Bulak Sumur dan selalu menyaksikan pagelaran Bengkel Teater WS Rendra. Jan  sering mencoba mengarang puisi dan menuduh dirinya tidak murni dan telah terkontaminasi berat oleh Rendra, Sutardji Kalzoum Bachri dan beberapa penyair lain, karena itu tak pernah berani menerbitkan kumpulan puisi sendiri. Puisi adalah kulminasi kesadaran manusia akan segala sesuatu, dengan kepadatan ungkapan kata  yang bermusikalitas, murni, dan ringkas. Bila Jan mengajar S2,S3 atau Magister pada hari Sabtu di berbagai PT di Jakarta atau Medan, selingan kelas ( 5 menit saja) adalah membuka HP dan membaca puisi bersama, misalnya dengan instruksi google Sutardji, Puisi Batu, diawali contoh bagaimana melantunkan puisi lebih dahulu, atau lagu kebangsaan dan lagu perjuangan.

Di Jakarta, ia menjadi Redaksi majalah Ikatan Akuntan Indonesia, membantu EBAR Universitas Indonesia, membantu Pusat Bahasa dalam mengembangkan istilah manajemen, keuangan, perbankan, asuransi, perpajakan dan akuntansi sejak 1991 sampai tahun 2015.

Dan inilah drama bahasa itu.

Pada suatu hari, ia diundang untuk rapat persiapan pembuatan draft UU Bahasa di Pusat Bahasa Rawamangun bersama sekitar 30 tokoh bahasa seperti pejabat pemerintahan, Anton Muliono, Remmy Silado, beberapa Guru Besar Bahasa dan beberapa penyair lain. Untuk persiapan rapat, Jan membuat makalah sederhana, ternyata menjadi satu-satunya makalah yang dibagikan kepada hadirin rapat. Sebagai awal pemaparan, ia menyatakan bahwa Ibu Pertiwi dirundung duka, air matanya berlinang,  karena era reformasi dan otonomi ternyata menyebabkan beberapa daerah ingin menjadi negara merdeka dari NKRI. Program otonomi berisiko kebablasan, dan karena itulah Indonesia membutuhkan UU sebagai sarana pemersatu, di dalamnya termaktub UU Bahasa.

Selengkapnya