POLITIK HUKUM OTONOMI DAERAH 2015


feb 2015Oleh : Dr. Jan Hoesada, CPA

 

PENDAHULUAN

Mohammad Hatta menyatakan bahwa dasar dari kedaulatan rakyat adalah hak seluruh rakyat Indonesia (melalui DPR dan kepemerintahan pemerintah pusat) dan hak rakyat daerah (melalui DPRD dan kepemerintahan daerah yang otonom) menentukan nasibnya sendiri. Karena itu secara hukum harus diupayakan agar pemerintah daerah – bila kompeten – dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, sesuai Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Masalah utama otonomi – dari kabupaten sampai desa – dengan demikian adalah kualitas rakyat pemilih dan kualitas parpol penguasa daerah itu (sebagai mesin politik wilayah itu) sebagai penentu kualitas anggota DPRD dan kualitas kepala daerah.

NKRI adalah negara hukum, dan makalah ini membahas bagaimana reformasi hukum untuk daerah otonom – dari kabupaten sampai ke desa dan dusun – harus segera dilakukan kabinet baru. Pengaturan perundang-undangan diyakini masih berpotensi strategis untuk mencapai cita-cita pendirian negara cq UUD Negara RI 1945, yaitu kesejahteraan rakyat.

Sebagai sebuah republik berciri negara kesatuan, sampai hari ini tertengarai bahwa politik kedaerahan masih mendua atau politik otonomi setengah-hati, dari UU Pemerintah Daerah sampai pada UU Desa 2014. Politik kepemerintahan daerah sengaja tidak memilih bentuk federal dan/atau negara-bagian, namun merupakan sebuah hibrida antara daerah otonom & local state government. Daerah otonom NKRI memiliki ciri-ciri otonomi negara bagian seperti eksistensi DPRD dan pilkada, sedang ciri-ciri sebagai local state government sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat NKRI seperti berbagai Perpu, Keppres, Inpres, PP dan berbagai Permen (terutama Permendagri dan Permenkeu) yang berlaku bagi pemerintah daerah, aliran APBN ke APBD, dekonsentrasi dan pembantuan.

Makalah membahas dimensi konstitusional & dimensi perspektif untuk substansi hukum dan struktur hukum pemerintahan daerah, belum menyentuh kultur hukum DPR & pemerintahan pusat, kultur hukum DPRD & pemerintahan daerah, adat-kebiasaan & budaya daerah setempat (yuridis sosiologis), yang merupakan kekurangan makalah ini.

Makalah disajikan kepada kabinet baru paska pemilu 2014 cq DPR baru, DPRD baru, Presiden dan Mendagri baru karena sejarah mencatat bahwa politik dalam negeri dan berbagai perangkat hukum pemerintahan daerah masih tak berhasil mensejahterakan rakyat daerah tertentu, KKN masih tumbuh subur pada berbagai DPRD dan Pemerintahan Daerah, sebagian Pilkada adalah ajang perebutan peluang bisnis dan kekayaan alam daerah.

Sistem pengawasan lembaga tinggi negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sendiri terhadap KKN daerah belum berjalan efektif membutuhkan kemauan-politik (political will) nan keras dari presiden baru yang berpengalaman sebagai kepala daerah, untuk menyehatkannya. Politik hukum daerah otonom presiden baru akan tersirat pula pada berbagai Peraturan Pemerintah sebagai wujud pelaksanaan UU Desa 2014. Pengawasan negara terpenting adalah pengawasan pajak, retribusi dan pungutan lain baik pada pemerintah pusat mapun pemerintah daerah.

Sejarah mencatat kemandirian pangan pernah tercapai pada era Suharto. Beras masih menjadi kebutuhan pokok, dan impor beras membebani APBN. Hampir 100.000 desa adalah ujung tombak perekonomian NKRI sebagai sebuah negara agraris, sehingga memerlukan seorang menteri dalam negeri yang amat kompeten. Dibutuhkan UU Agraria baru yang mereformasi lahan pertanian yang terlanjur terbagi-bagi pada luas lahan yang demikian kecil sehingga tak mungkin mencapai skala-keekonomian dan produktivitas lahan maksimum, UU agraria yang mengatur skala-keekonomian kepemilikan minimum bagi satu-dua juta Ha lahan baru yang akan segera dibangun, UU pertanahan baru yang menghalangi konversi lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian, penerapan pertanian & perkebunan modern berbasis estate-farming, serta reformasi hukum waris yang mencegah pembelahan secara terus menerus lahan pertanian warisan keluarga sesuai jumlah pewaris (sehingga ukuran lahan pertanian cenderung makin kecil), disertai pembangunan budaya bangsa yang baru – sedemikian rupa – agar generasi penerus bangga menjadi petani modern, era baru dimana para gadis tidak berasa malu bersuami petani, meneguhkan kembali Indonesia sebagai negara agraris, dan petani adalah warga kelas satu.

Pada awal era reformasi, gagasan mulia desentralisasi NKRI menjadi daerah otonom diikuti desentralisasi fiskal berupa penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber pendapatan daerah, mengelola transfer dan pinjam daerah yang terfokus kepada pertumbuhan investasi di daerah, pertumbuhan ekonomi cq PDB daerah, penyediaan lapangan kerja di daerah, pendapatan perkapita daerah.

Kinerja penyusunan RAPBD suatu pemerintah daerah digambarkan oleh porsi relatif (dalam %), porsi absolut (dalam Rupiah) dan kecenderungan (trend lintas tahun anggaran) belanja bagi publik yang semakin besar dibanding belanja barang, belanja modal, dan belanja pegawai bagi keperluan pemerintah daerah sendiri makin kecil.

Sejarah mencatat bahwa kebijakan alokasi APBN berbasis kependudukan dan sentra kegiatan ekonomi, jauh dari keadilan alokasi berbasis pulau atau luas pemerintah daerah, delapan puluh persen APBN teralokasi pada pulau Jawa, Bali dan Sumatera.

Bagi presiden baru, politik anggaran harus diarahkan untuk memerangi masalah utama otonomi daerah seperti membangun keadilan alokasi APBN ke-17.000 pulau lain di luar Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera, pemberdayaan masyarakat daerah berbasis modernisasi adat-istiadat setempat, pencegahan pemekaran daerah kebablasan yang terus berkelanjutan, dengan membentuk DPRD dan pemerintah daerah kompeten yang mengusung aspirasi rakyat baik mayoritas maupun kelompok minoritas. DPRD dan pimpinan pemda berwawasan NKRI, berkehendak keras mendirikan tata-kelola nan baik (good governance) sehingga harus bebas pasungan kelompok etnis tertentu di daerahnya, pejabat bersih KKN umumnya, tidak membisniskan pemerintahan pemda khususnya, secara amat khusus; tidak berkoaliasi dengan pebisnis & pencari peluang, terutama pada wilayah industri ekstraktif. Keadilan distribusi APBN ke-17.000 pulau terfokus pada pembangunan sarana & prasarana pemikat transmigrasi dari pulau padat penduduk ke pulau kurang penduduk, dan tunjangan APBN bagi transmigran beberapa tahun pertama.

POLITIK HUKUM PADA KEPEMERINTAHAN DAERAH

Politik hukum otonomi daerah membuat cetak-biru bahwa DPRD bukan lembaga legislatif pemerintah daerah dan pengawasan pemerintahan daerah. DPRD dapat membuat raperda, diusulkan kepada kepala daerah untuk ditolak atau disetujui, dengan atau tanpa revisi.

Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dibentuklah DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama pemerintah daerah, bersama-sama mengatur & mengurus urusan pemerintahan dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasar aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI, sesuai huruf c UU 27/2009.

Pemerintahan daerah dilaksanakan pemerintah daerah dan DPRD sebagai mitra kerja, sejak UU 32/2004 DPRD bukan lagi lembaga legislatif, DPRD tidak dapat meminta laporan pertanggungjawaban kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, dan anggota DPRD separtai dengan kepala daerah cenderung bersikap mendukung kepala daerah. Bila suatu partai menguasai mayoritas anggota DPRD dan kader partai sebagai kepala daerah, pemerintah daerah diwarnai budaya partai dan aspirasi partai tersebut.

Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 mendorong otonomi daerah seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, menjadi dasar kelahiran UU 22/1948 dan UU 1/1957 yang mengatur tentang pembentukan daerah, penambahan urusan, dan delegasi wewenang.

UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah diterbitkan namun tidak terlaksana dalam pemerintahan Orde Baru. Orde Baru berakhir, iklim politik NKRI tersentralisasi mengalami perubahan mendasar dengan munculnya politik desentralisasi & pemberdayaan daerah berotonomi melalui penerbitan UU 22/1999, UU 32/2004 lalu UU 12/2008 tentang pemerintah daerah.

Sesuai UU 32/2004 Kabupaten/kota bertugas dan berwewenang untuk melaksanakan:

  • Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan
  • Perencanaan untuk optimalisasi pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
  • Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
  • Penyediaan sarana & prasarana
  • Penyelenggaraan pendidikan
  • Penanggulangan masalah sosial
  • Pelayanan bidang ketenagakerjaan
  • Memfasilitasi Pengembangan koperasi dan UMKM
  • Pengendalian lingkungan hidup
  • Pelayanan pertanahan
  • Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
  • Pelayanan administrasi umum kepemerintahan
  • Pelayanan administrasi penanaman modal
  • Penyelenggaraan layanan dasar lain-lain

Politik tarik ulur terjadi, dibuktikan oleh gegap gempita eforia politik awal reformasi 1999 ternyata surut pada 2004 dan seterusnya. Wewenang kabupaten yang tercantum pada UU 22/1999 dihapus oleh UU 32/2004 adalah justru butir-butir terpenting pemberdayaan daerah, sehingga pemerintahan kabupaten turun harkat menjadi pemerintahan administratif, dengan pencabutan unsur eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut, bantuan penegakan kedaulatan negara, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal (menjadi pelayanan administrasi penanaman modal), pertanahan (menjadi pelayanan pertanahan), lalu muncul kembali dalam bentuk tugas pengelolaan sumberdaya alam, pajak, retribusi dan transfer berasal dari rakyat pada UU 33/2004.

POLITIK HUKUM UNTUK KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Belum ada politik pendewasaan keuangan pemerintah daerah, belum ada program pemaksaan bertahap agar daerah memperbesar PAD dan mengurangi harapan transafer dari APBN. Sebagian besar APBD adalah berasal dari transfer APBN.

Keuangan daerah termasuk di dalam ranah keuangan negara, pengelolaan keuangan daerah bertujuan untuk optimalisasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, peningkatan kesejahteraan cq PAD, PDB dan pendapatan perkapita.

Pasal 75 ayat (3) UU 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menjadi dasar penerbitan PP 36/1972 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, PP 48/1973 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keuangan Daerah. UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, PP 6/1975 tentang Cara Penyusunan APBD menjadi dasar pikiran pembentukan Permendagri 900-009/1980 tentang Manual Adminsitrasi Keuangan Daerah dan Kepmendagri 020-595/1981 tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah.

Reformasi ditandai dengan munculnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah diwarnai euforia pembebasan keuangan daerah, ditandai oleh munculnya hak DPRD menentukan APBD dan tata tertib administrasi keuangan daerah masing-masing tanpa evaluasi & persetujuan propinsi diberlakukan hanya sekitar 5 tahun, dinilai berlebihan, kemudian diselaraskan dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan klausul tersebut di atas lalu dihapus pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Walau berumur hanya lima tahun, ternyata UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah berimbas melahirkan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, DAN UU 22/1999 sempat diturunkan menjadi PP 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah berbasis anggaran kinerja dan Permendagri 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.

Karena reformasi keuangan negara vide UU 17/2003, maka UU 25/1999 tersebut berubah menjadi UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Karena keuangan daerah berada dalam domain keuangan negara, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara berimbas ke daerah menjadi UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberi hak/wewenang daerah mengelola pajak daerah, retribusi daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan tiga Permendagri – yaitu Permendagri 13/2006, 59/2007, 21/2011–tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pemerintah daerah, DPRD dengan partisipasi & aspirasi rakyat pemda menetapkan kebijakan umum anggaran (KUA) sebagai landasan rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD), rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Sebagai wakil rakyat, DPRD berupaya melayani rakyat, memenuhi aspirasi masyarakat setempat tentang (1) sumber perolehan yang berkenan di hati rakyat, dan (2) alokasi uang rakyat melalui RAPBD memenuhi aspirasi yang baik, serta (3) tak terdapat anggota DPRD menjadi mafia anggaran, tender dan penunjukan rekanan. Sampai saat ini strategi otonomi daerah tak menghasilkan lompatan besar kesejahteraan rakyat daerah, lebih banyak diwarnai aroma KKN APBD. Apabila otonomi daerah dinilai oleh Presiden terpilih 2014 justru menghasilkan KKN daerah, maka tiap DPRD dan pemerintah daerah perlu segera dilengkapi sistem pengawasan KKN & pengaduan publik (whistle blowing system).

Presiden dan kabinet baru diharapkan mengubah dasar alokasi dana perimbangan kabupaten sampai ke desa secara lebih tepat dan lebih adil, misalnya mempertimbangkan alokasi sadar senjang atau gap, berbasis klasifikasi kawasan (Indonesia bagian Barat atau Timur), jumlah penduduk, kepadatan penduduk, ragam kelompok etnis, rentang kendali terkait luas wilayah darat ditambah laut, kondisi prasarana dasar minimum, kondisi sosial & perekonomian, UMKM & etos kerja (sebagai syarat efektivitas alokasi), SDA & Penghasilan Asli Daerah, topografi dan kondisi alam (sulit/mudah, gersang/subur), bukan sekadar berbasis luas wilayah & jumlah penduduk.

Mudah sekali menengarai pemerintahan demokratis atau otoriter. Pada pemda yang demokratis, kehendak rakyat yang baik dan benar diutamakan DPRD dan pemerintah daerah, bukan kebutuhan aparat pemda sendiri bahkan kebutuhan DPRD sendirilah yang diutamakan. Agar tidak dituduh otoriter, kehendak rakyat yang tidak patut & tidak terakomodasi dalam RAPBD dijelaskan dengan sabar oleh Bupati, Camat, Lurah, Kepala Desa melalui media publik setempat.

Apa ukuran pemerintahan yang baik ?

Secara hukum, pemerintah daerah yang demokratis & bertanggung jawab ditandai oleh:

  1. Kemampuan pelaporan LK pemerintah daerah berbasis PP 71/2010 dan perolehan opini WTP BPK atas LK pemda,
  2. Tidak ada kasus korupsi APBD dan/atau sanksi pidana kepada Bupati atau anggopta DPRD,
  3. Tidak ada kasus KKN pada lelang, nominasi, dan penunjukan langsung perusahaan pengelola SDA pemda atau proyek-proyek pemda,
  4. Tidak ada salah alokasi anggaran, misalnya tidak terdapat belanja bansos dalam belanja modal & barang untuk digunakan sendiri oleh pemda.

PEMBANGUNAN HUKUM PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

Bagi Presiden, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri yang baru, pembangunan hukum pengendalian dan pengawasan keuangan daerah harus dilakukan kabinet baru 2015 hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  • Pengendalian secara hukum atas penggunaan wewenang kepala pemda pada wilayah strategis daerah, misalnya eksploitasi dan pemeliharaan SDA, BUMD, tata ruang, daya pikat investasi, penguatan organisasi APBD, satker keuangan dan akuntansi pemda, pembangunan demokrasi daerah dan transparansi keuangan pemda.
  • Tahap perencanaan APBD (RAPBD) pada tahap musyarawah perencanaan pembangunan daerah (musrenbangda), musrenbang forum SKPD bersifat seremonial saja, pembahasan KUAS dan PPAS adalah wilayah paling rawan KKN, misalnya program, proyek, kegiatan bukan untuk kepentingan rakyat setempat, pembagian kue anggaran, dan pemanjaan diri pemda sendiri (belanja modal, belanja barang, belanja pegawai berlebihan) berisiko melibatkan kepala daerah sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah, sekretaris daerah sebagai koordinator pengelolaan keuangan daerah, kepala SKPD sebagai pejabat penguasa anggaran, Karo Keuangan atau dinas keuangan sebagai pejabat pengelolaan keuangan daerah, bendahara penerimaan dan/atau pengeluaran, Pimpinan DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah(TAPD), Komisi dan Badan Anggaran DPRD, baik melalui APBD-Induk maupun APBD-Perubahan, dengan penggelembungan anggaran, program siluman, rekayasa pendapatan fiktif dan utang pihak ketiga. Mafia anggaran adalah kerja sama yang amat kuat dan rapi, sehingga sulit ditembus oleh pihak luar.
  • Reformasi mendasar pengawasan NKRI kepada pemerintah daerah, penguatan organisasi BPKP daerah, BPK daerah, KPK daerah dan SPI pemda untuk melakukan pemeriksaan keuangan daerah dan penyidikan kasus keuangan daerah.
  • Hukum pencegahan KKN APBD, pencegahan fee perolehan proyek, rekayasa tender belanja modal dan belanja barang pemda yang tidak transparan & akuntabel, anggaran belanja bansos dititipkan pada pos belanja modal dan barang, fee pencairan belanja modal, upeti kepada partai politik, pemeriksaan pertambahan kekayaan pejabat pemda, sistem pengaduan masyarakat atas tindak KKN (whistle blowing system), sistem sanksi jabatan, penerapan wilayah bebas korupsi dan pakta integritas, kewajiban pemda melakukan alokasi APBD untuk pengunaan para ahli agama untuk memerangi budaya KKN pemda, evaluasi kekerabatan pemenang tender atau perolehan proyek berbasis penunjukan.
  • Hukum pencegahan jual-beli jabatan pejabat pemda, uang pelicin promosi jabatan basah dan lain-lain.
  • Pertanggungjawaban realisasi anggaran, terutama program, proyek, kegiatan yang tidak akuntabel, efektif dan efisien dan menyebabkan kerugian negara, antara lain pertanggungjawaban uang muka, uang perjalanan dinas, proyek atau program dalam APBD tidak propembangunan ekonomi atau berorientasi pada kesejahteraan rakyat, APBD bermewah-mewah & terfokus pada belanja modal, belanja barang, dan belanja pegawai pemda sendiri.

PENUTUP

Tak peduli sistem pilkada langsung atau melalui DPRD, apabila pertanggungjawaban keuangan pemda dilakukan dengan baik, maka kinerja pemda merupakan kenyataan indah.