Warta Kota, 23 Januari 2007 – Ekonom senior Dr. Pande Radja Silalahi menilai kebijaksanaan Menteri Keuangan yang akan mengizinkan pemerintah daerah (pemda) mencari pinjaman sendiri melalui penerbitan obligasi daerah sangat berbahaya. Dia lebih setuju pemerintah pusat memberikan desentralisasi pengeluaran kepada pemda.
”Perlu kehati-hatian yang lebih dalam memberikan otoritas kepada pemda, khususnya kewenangan dalam mencari pinjaman sendiri” ujar Pande, Senin (22/1).
Menurut dia, pemberian wewenang itu perlu dibarengi mekanisme monitoring yang baik dan ketat. Kalo tidak, akan menimbulkan bahaya besar, yaitu Indonesia bisa terjebak lagi dalam masalah utang. ”Krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun lalu dikarenakan kita tidak mampu menjalankan monitoring utang secara baik. Nah, jangan sampai hal itu terulang lagi.” ujar Pande.
Memang , lanjut Pande pemberian otoritas kepada pemda bisa memajukan kreativitas dan menciptakan kekuatan ekonomi di daerah-daerah. Hanya saja, yang perlu diwaspadai, sekali pemerintah pusat memberi ”madu” kepada pemda, hal itu sulit ditarik kembali.
Menurut dia, untuk daerah kaya seperti DKI Jakarta tidak masalah menerbitkan obligasi, apakah untuk membiayai pembengunan infrastruktur atau sektor pendidikan. ”Tapi masalahnya, bagaimana dengan daerah-daerah miskin? Apakah tidak akan menimbulkan kecemburuan? Hal itu secara politik bisa membahayakan NKRI,” katanya.
Karena itu, Pande menyerankan lebih baik pemerintah pusat memberikan desentralisasi pengeluaran kepada pemda. Contoh nya dalam pembangunan jalan, sebaiknya kewenangan pusat diserahkan kepada pemda.
Pekan lalu, Direktur Pinjam, Hibah, dan Kapasitas Daerah pada Departemen Keuangan, Andriansyah, dalam sebuah seminar di Surabaya mengatakan, pemerintah bakal menerbitkan peraturan tentang obligasi daerah yang antara lain mengizinkan pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten/kota (pemda/pemkot) menerbitkan obligasi daerah, sebagai sarana untuk menutupi kekurangan pendanaan pembangunan di wilayah masing-masing.
Karena pengeluaran obligasi melalui pasar modal, kata Andriansyah, tentu harus mengikuti peraturan pasar modal dan peraturan Bapepam.
Peraturan Menkeu itu akan mengatur detail operasionalnya, misalnya pembayaran tahunannya, defisit APBD minimal lima persen. ”Aturan dari Menkeu itu ketentuannya fiscal capacity daerah, artinya daerah itu layak tidak untuk meminjam, termasuk obligasi. Batas maksimal kumulatif pinjaman pemerintah daerah termasuk obligasi daerah maksimal 60 persen dari APBD,” ujar Andriansyah. (hes)