Opini wajar tanpa pengecualian sama artinya dengan, bebas dari korupsi? Banyak kalangan meyakini demikian. Pada perkembangannya, opini WTP banyak dijadikan komoditas politik bagi peningkatan citra pimpinan, baik itu menteri, pimpinan lembaga, maupun kepala daerah.
Sudah demikian salah kaprahnya pemahaman tentang opini WTP. Alhasil, ketika ada suatu kementerian, lembaga, atau pemda yang menerima WTP, kemudian diketahui di situ ada korupsi, semua terperangah. Semua merasa tertipu oleh opini tersebut.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pihak yang punya otoritas untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan opini tersebut pun menjadi sorotan banyak pihak. Mereka menilai BPK telah memperjualbelikan opini, BPK berkolusi dengan pihak yang diperiksa agar memperoleh opini WTP, dan sebagainya.
Guna menjernihkan persoalan tersebut dan memberikan pemahaman yang benar tentang opini WTP, perlu dipahami terlebih dahulu jenis pemeriksaan BPK. Ada tiga jenis pemeriksaan BPK, yaitu pemeriksaan atas laporan keuangan; pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
Pemeriksaan jenis pertama bertujuan menilai kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Jenis kedua, bertujuan menilai kinerja lembaga apakah sudah ekonomis, efisien, dan efektif. Adapun yang ketiga adalah pemeriksaan di luar dua jenis tersebut. Termasuk dalam PDTT adalah pemeriksaan investigatif, yang bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan telah terjadi korupsi atau tidak.
Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) merupakan produk dari pemeriksaan atas laporan keuangan. Selain WTP, BPK juga bisa memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP), tidak memberikan pendapat (TMP), dan tidak wajar (TW).
Dalam terminologi praktik audit secara internasional, pemeriksaan atas laporan keuangan disebut general audit. Istilah ini menunjukkan pemeriksaan dilakukan dengan lingkup yang luas, mencakup seluruh pos pada laporan keuangan, tetapi dengan prosedur yang relatif tidak semendalam jika pemeriksaan dilakukan hanya untuk suatu pos tertentu. Analog dengan general audit, di dunia kedokteran juga dikenal general check up. Keduanya untuk memberikan penilaian bahwa secara umum kondisinya sehat atau tidak sehat.
Pemeriksaan atas laporan keuangan bertujuan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan (SAP). Kata kuncinya adalah “kewajaran”. Wajar artinya laporan keuangan tersebut secara umum pencatatannya sudah sesuai SAP. Kewajaran tak sama dengan kebenaran eksak. SAP mengatur antara lain kapan suatu transaksi dicatat dengan nilai berapa, dan informasi apa saja yang harus diungkapkan.
Jika laporan keuangan secara keseluruhan sudah disajikan sesuai SAP, BPK akan memberikan opini WTP. Namun, jika sudah sesuai SAP tetapi ada pos-pos tertentu yang belum sesuai, BPK akan memberikan opini WDP. Jika secara keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan SAP, opininya TW. Dalam keadaan tertentu, jika auditor dibatasi aksesnya oleh manajemen untuk memeriksa dokumen yang diperlukan atau kondisinya sedemikian lemah di mana catatan-catatan keuangan sangat tidak bisa diandalkan, BPK bisa memberikan opini TMP.
Materialitas
Pertanyaan adalah apa batasan suatu pos laporan keuangan dikatakan sudah sesuai dengan standar? Dalam praktik profesi audit di seluruh dunia dikenal istilah materialitas. Artinya, nilai minimal suatu penyimpangan dapat memengaruhi keputusan pengguna laporan keuangan. Nilai penyimpangan tersebut dinyatakan dalam persentase tertentu dari suatu pos laporan keuangan.
Gambaran konkretnya, bila suatu kementerian melaporkan penerimaan negara Rp 1 triliun, setelah diperiksa Rp 4 miliar di antaranya tak ada bukti setorannya ke kas negara. Atas masalah ini, BPK tak akan menyimpulkan penerimaan negara sebesar Rp 1 triliun yang dilaporkan oleh kementerian tersebut tak dapat diyakini kewajarannya.
Dalam praktik audit materialitas yang ditetapkan berkisar 0,5-5 persen dari total penerimaan. Misalnya, dipilih 0,5 persen, maka penyimpangan yang akan memengaruhi kewajaran laporan keuangan Rp 5 miliar.
Adanya penyimpangan pencatatan sebesar Rp 4 miliar tersebut tak berarti BPK tidak melaporkannya. Bahkan, BPK harus mendalami pemeriksaan untuk memastikan penyebab penyimpangan. Selanjutnya, BPK melaporkan temuan tersebut dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan. Jika ada indikasi korupsi, temuannya akan diserahkan kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
Dengan demikian, adanya temuan yang berindikasi korupsi tidak otomatis memengaruhi kewajaran laporan keuangan sepanjang tak melewati batas materialitas yang ditetapkan. Menjadi salah kaprah jika mengatakan kalau ada korupsi maka opininya pasti tidak WTP. Atau, kalau WTP pasti tak ada korupsi. BPK perlu menegaskan, WTP bukan jaminan tak ada korupsi.
Proses pemeriksaan atas laporan keuangan dilakukan oleh auditor yang punya keahlian khusus. Sementara itu, proses pemeriksaan hingga penyusunan laporannya diawasi secara berjenjang mulai ketua tim hingga anggota BPK. Selain itu, ada Inspektorat Utama yang akan melakukan review atas pekerjaan pemeriksaan. Melalui proses demikian, tidak mungkin BPK bisa menjual kredibilitasnya dengan mudah memberikan opini WTP.
Apabila BPK menemukan korupsi, berapa pun besarnya tetap akan dilaporkan dalam laporan audit kepatuhan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan audit keuangan yang memuat opini BPK. Bagi BPK, praktik korupsi, sebesar apa pun, merupakan tindakan yang tidak wajar, tanpa pengecualian.
Sumber: Kompas